“Mbah ojo dadi banci lho, Mbah…mengko aku ndhak dadi lesbian”
Kalimat
berbahasa Jawa --yang artinya: Nek, jangan jadi waria lho, Nek…nanti
aku bisa (ketularan) jadi lesbian-- itu meluncur dari bocah perempuan
berusia kira-kira 8 tahun. Sutopo, waria yang merupakan nenek angkat
dari anak itu, menuturkannya kembali untuk acara televisi bertajuk
“Kejamnya Dunia”. Agak mengagetkan bahwa acara yang cenderung
mengeksploitasi penderitaan dan kesedihan manusia itu kali ini
menampilkan kisah yang cukup mengharukan. Objeknya, waria, tentu saja
memang masih sesuai dengan tajuk acaranya. Namun, kali ini porsinya
terasa begitu pas, sehingga tak tampak adanya upaya yang berlebihan
untuk menggali airmata ratapan “ketidaknormalan”.
Judulnya
“Selamat Pagi, Saya Pak Topo” dengan sub judul dalam kurung “Kisah
Seorang Waria Menjadi Guru”. Yang terakhir ini terdengar lugu dan naif,
selugu adegan-adegan ilustrasi yang diperankan oleh model. Tapi, di luar
itu, secara substantif, episode “Kejamnya Dunia” kali ini tidak hanya
menarik namun juga berhasil mengundang simpati. Pada beberapa bagian
bahkan tampil lucu dan menghibur. Misalnya, pada bagian yang saya
jadikan pembuka tulisan ini, ketika Pak Topo mengenang kembali kata-kata
salah seorang cucu angkatnya. Dari situ kita tak hanya dihadapkan pada
sebuah panorama budaya tertentu yang demikian tulus menerima keberadaan
waria. Lebih daripada itu, adegan yang menggambarkan keakraban antara
seorang waria yang telah menjadi nenek dengan cucunya itu menjadi simbol
dari lebih banyak lagi realitas tentang sebuah masyarakat Jawa yang
egaliter.
Adegan lain yang menggambarkan hal yang sama adalah
ketika Pak Topo, dengan setting ruang kantor di sekolah tempat ia
mengajar, menuturkan bahwa semua rekan-rekannya sesama guru memanggilnya
mami. “Sampai kepala sekolah pun memanggil saya mami. Yang tidak
memanggil mami cuma guru agama.” Dalam tayangan-tayangan fiktif, sosok
waria dilukiskan dengan begitu karikatural bahkan cenderung absurd.
Seolah-olah, para kreator di balik acara-acara seperti sinetron itu tak
pernah melihat secara langsung sosok seorang waria itu seperti apa.
Seolah-olah waria itu makluk lain dari luar spesies manusia yang luar
biasa aneh. Dalam “Kejamnya Dunia” episode Pak Topo, waria tampil begitu
normal, begitu wajar. Ia seorang guru di sebuah SMK di Yogyakarta,
bergaul sebagaimana mestinya dengan lingkungannya dan diterima apa
adanya.
Tentu saja ia pernah mengalami masa-masa sulit, ketika
hidup diwarnai dengan diskriminasi, penolakan dan perlakuan yang
menghinakan dari orang-orang di sekitarnya. Ia pernah mengalami
masa-masa tidak disukai orangtuanya karena perilakunya yang
“menyimpang”: pagi seorang lelaki berseragam pegawai negeri, malamnya
berdandan perempuan dan kelayapan mencari teman-teman sehati. Namun,
jatuh bangunnya seorang individu manusia dalam berjuang merebut
eksistensinya adalah proses yang biasa dilewati oleh siapa saja, tidak
laki-laki, tidak perempuan. Dan, tak terkecuali seorang waria. Pada
akhirnya, di samping identitas seksualnya yang oleh umum dianggap
menyimpang, pertama kali ia adalah seorang manusia.
Maka, lumrah
bila kemudian Pak Topo pun berpikir normatif layaknya manusia lain pada
umumnya, yang takut pada hari tua. Tak ingin sendirian dan kesepian, ia
mengangkat anak (laki-laki), dan sang anak itu kini telah beristri dan
beranak pula. Maka, Pak Topo pun punya cucu dan menjadi seorang yang
dipanggil nenek. “Cucu saya yang pertama melarang saya dandan lagi.
Mbah ojo dadi banci, lho, Mbah…mengko aku ndhak dadi lesbian, katanya,”
tutur dia mengenang.
Dari tayangan-tayangan fiktif –termasuk
misalnya yang berklaim relijius, dengan berbagai tajuk, dari “Hidayah”
sampai “Taubat” yang menampilkan tokoh kiai di dalamnya-- kita
disesatkan sejauh menyangkut sosok-sosok seorang waria. “Kejamnya Dunia”
edisi Pak Topo telah memberikan pencerahan yang menyegarkan, dan
membuat masyarakat jadi tahu bahwa waria bukanlah siapa-siapa. Ia guru
di sekolah kita, ia juga bisa jadi orang tua kita (seperti yang
digambarkan dalam film “Realita, Cinta dan Rock N Roll” karya sutaradara
Upi Avianto), ia bisa nenek kita, tetangga sebelah rumah kita, yang
setiap hari lewat depan rumah kita, menyapa kita atau kita sapa, kita
ajak bercanda. Dan, ia tak perlu berteriak, “Aku Bukan Banci Kaleng”.
No comments:
Post a Comment