Wednesday, September 28, 2011

Selamat Malam, Saya Banci ""perjalanan""

“Mbah ojo dadi banci lho, Mbah…mengko aku ndhak dadi lesbian”


Kalimat berbahasa Jawa --yang artinya: Nek, jangan jadi waria lho, Nek…nanti aku bisa (ketularan) jadi lesbian-- itu meluncur dari bocah perempuan berusia kira-kira 8 tahun. Sutopo, waria yang merupakan nenek angkat dari anak itu, menuturkannya kembali untuk acara televisi bertajuk “Kejamnya Dunia”. Agak mengagetkan bahwa acara yang cenderung mengeksploitasi penderitaan dan kesedihan manusia itu kali ini menampilkan kisah yang cukup mengharukan. Objeknya, waria, tentu saja memang masih sesuai dengan tajuk acaranya. Namun, kali ini porsinya terasa begitu pas, sehingga tak tampak adanya upaya yang berlebihan untuk menggali airmata ratapan “ketidaknormalan”.

Judulnya “Selamat Pagi, Saya Pak Topo” dengan sub judul dalam kurung “Kisah Seorang Waria Menjadi Guru”. Yang terakhir ini terdengar lugu dan naif, selugu adegan-adegan ilustrasi yang diperankan oleh model. Tapi, di luar itu, secara substantif, episode “Kejamnya Dunia” kali ini tidak hanya menarik namun juga berhasil mengundang simpati. Pada beberapa bagian bahkan tampil lucu dan menghibur. Misalnya, pada bagian yang saya jadikan pembuka tulisan ini, ketika Pak Topo mengenang kembali kata-kata salah seorang cucu angkatnya. Dari situ kita tak hanya dihadapkan pada sebuah panorama budaya tertentu yang demikian tulus menerima keberadaan waria. Lebih daripada itu, adegan yang menggambarkan keakraban antara seorang waria yang telah menjadi nenek dengan cucunya itu menjadi simbol dari lebih banyak lagi realitas tentang sebuah masyarakat Jawa yang egaliter.

Adegan lain yang menggambarkan hal yang sama adalah ketika Pak Topo, dengan setting ruang kantor di sekolah tempat ia mengajar, menuturkan bahwa semua rekan-rekannya sesama guru memanggilnya mami. “Sampai kepala sekolah pun memanggil saya mami. Yang tidak memanggil mami cuma guru agama.” Dalam tayangan-tayangan fiktif, sosok waria dilukiskan dengan begitu karikatural bahkan cenderung absurd. Seolah-olah, para kreator di balik acara-acara seperti sinetron itu tak pernah melihat secara langsung sosok seorang waria itu seperti apa. Seolah-olah waria itu makluk lain dari luar spesies manusia yang luar biasa aneh. Dalam “Kejamnya Dunia” episode Pak Topo, waria tampil begitu normal, begitu wajar. Ia seorang guru di sebuah SMK di Yogyakarta, bergaul sebagaimana mestinya dengan lingkungannya dan diterima apa adanya.

Tentu saja ia pernah mengalami masa-masa sulit, ketika hidup diwarnai dengan diskriminasi, penolakan dan perlakuan yang menghinakan dari orang-orang di sekitarnya. Ia pernah mengalami masa-masa tidak disukai orangtuanya karena perilakunya yang “menyimpang”: pagi seorang lelaki berseragam pegawai negeri, malamnya berdandan perempuan dan kelayapan mencari teman-teman sehati. Namun, jatuh bangunnya seorang individu manusia dalam berjuang merebut eksistensinya adalah proses yang biasa dilewati oleh siapa saja, tidak laki-laki, tidak perempuan. Dan, tak terkecuali seorang waria. Pada akhirnya, di samping identitas seksualnya yang oleh umum dianggap menyimpang, pertama kali ia adalah seorang manusia.

Maka, lumrah bila kemudian Pak Topo pun berpikir normatif layaknya manusia lain pada umumnya, yang takut pada hari tua. Tak ingin sendirian dan kesepian, ia mengangkat anak (laki-laki), dan sang anak itu kini telah beristri dan beranak pula. Maka, Pak Topo pun punya cucu dan menjadi seorang yang dipanggil nenek. “Cucu saya yang pertama melarang saya dandan lagi. Mbah ojo dadi banci, lho, Mbah…mengko aku ndhak dadi lesbian, katanya,” tutur dia mengenang.

Dari tayangan-tayangan fiktif –termasuk misalnya yang berklaim relijius, dengan berbagai tajuk, dari “Hidayah” sampai “Taubat” yang menampilkan tokoh kiai di dalamnya-- kita disesatkan sejauh menyangkut sosok-sosok seorang waria. “Kejamnya Dunia” edisi Pak Topo telah memberikan pencerahan yang menyegarkan, dan membuat masyarakat jadi tahu bahwa waria bukanlah siapa-siapa. Ia guru di sekolah kita, ia juga bisa jadi orang tua kita (seperti yang digambarkan dalam film “Realita, Cinta dan Rock N Roll” karya sutaradara Upi Avianto), ia bisa nenek kita, tetangga sebelah rumah kita, yang setiap hari lewat depan rumah kita, menyapa kita atau kita sapa, kita ajak bercanda. Dan, ia tak perlu berteriak, “Aku Bukan Banci Kaleng”.

No comments:

Post a Comment