Wednesday, September 28, 2011

""Manfaat Hutan Kota""

Hutan kota memberikan banyak sekali manfaat bagi kelestarian lingkungan kota. Hutan kota sangat diperlukan bagi semua penghuni kota. Setiap manusia yang habitatnya di perkotaan pasti akan mendapatkan banyak manfaat jika di kota tempat habitatnya tersebut memiliki hutan kota. Ada pun manfaat yang bisa dirasakan dalam kehidupan masyarakat perkotaan dari pembangunan hutan kota, antara lain :
1. Manfaat estetis. Warna hijau dan aneka bentuk dedaunan serta bentuk susunan tajuk berpadu menjadi suatu pemandangan yang indah dan menyejukkan.

2. Manfaat hidrologis. Struktur akar tanaman mampu menyerap kelebihan air apabila turun hujan sehingga tidak mengalir sia-sia melainkan dapat diserap tanah.

3. Manfaat klimatologis. Iklim yang sehat dan normal penting untuk keselarasan hidup manusia. Efek rumah kaca akan dikurangi dengan banyaknya tanaman dalam suatu daerah. Bahkan adanya tanaman akan menambah kesejukan dan kenyamanan lingkungan.

4. Manfaat ekologis. Keserasian lingkungan bukan hanya baik untuk satwa, tanaman, atau manusia saja. Kehidupan makhluk di alam ini saling ketergantungan. Apabila salah satunya musnah maka kehidupan makhluk lainnya akan terganggu.
5. Manfaat protektif. Pohon dapat menjadi pelindung dari teriknya matahari, terpaan angin kencang dan peredam dari suara bising.

6. Manfaat higienis. Dengan adanya tanaman, bahaya polusi mampu dikurangi karena dedaunan tanaman mampu menyaring debu dan mengisap kotoran di udara. Bahkan tanaman mampu menghasilkan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia.

7. Manfaat edukatif. Semakin langkanya pepohonan yang hidup di perkotaan membuat sebagian warganya tidak mengenalnya lagi. Karena langkanya pepohonan tersebut maka generasi manusia yang akan datang yang hidup dan dibesarkan di perkotaan seolah tidak mengenal lagi sosok tanaman yang pernah ada. Sehingga penanaman kembali pepohonan di perkotaan dapat bermanfaat sebagai laboratorium alam.

""Hiduplah seperti Air, Tapi Jangan Seperti Air yang Mengalir""

Berbicara masalah filosofi hidup kadang berkaitan erat dengan cara pandang, cara berpikir, dan cara menilai kita pada satu objek tertentu. Menurut kita pesan yang tersirat dibalik setiap objek tertentu begini, bukan tidak mungkin menurut orang lain begitu. Sah-sah saja memang, terlebih lagi masing-masing punya dasar dan tujuan positif.
Disini saya ingin “belajar mencoba” untuk menguraikan satu pandangan dari banyak orang tentang “hiduplah seperti air”. Filosofi hidup seperti air atau menurut masyarakat Tionghoa dikenal juga dengan istilah Tao Te Ching ternyata berbeda dengan “hidup seperti air mengalir”. Prinsip hidup seperti air lebih mengarah pada sifat global air itu sendiri, sedangkan hidup seperti air mengalir lebih mengarah pada salah satu sifat air yang selalu mengalir kesegala arah.
Lalu kenapa kita harus hidup seperti air ?, atau paling tidak filosofi apa yang bisa kita ambil dari air ?
Pertama, selain mempunyai sifat mengalir, air juga mempunyai sifat menguap. Naik keatas dan bertemu, berkumpul dan bersatu dengan uap air yang berasal dari berbagai tempat, dan dari pertalian ikatan ini akhirnya terbentuklah awan. Gumpalan awan ini kemudian bertemu dengan gumpalan-gumpalan lainnya sehingga semakin berat dan turunlah hujan yang menyejukan. Sifat ini hendaknya ditiru oleh kita, yaitu begitu pangkat dan kualitas hidup kita bisa lebih baik dan diatas orang lain, seharusnya kita bisa bersatu padu dengan orang-orang yang sama-sama diberikan derajat lebih untuk kemudian berusaha semaksimal mungkin menyejahterakan banyak orang.
Kadang sering ada yang menjadikan teori diatas sebagai alasan mengapa hidup harus seperti air yang mengalir, padahal teori diatas bukanlah tentang “air mengalir” melainkan ½ dari ”siklus air”. Sedangkan “air mengalir” bagian dari “Siklus air”.
Kedua, air mempunyai sifat membersihkan. Tentunya tidak semua air bisa membersihkan, air yang bisa membersihkan tentunya harus air yang bersih juga. Hikmahnya buat kita, hendaklah kita menjadi pribadi yang bisa mempengaruhi orang lain untuk berada dijalan yang baik, benar dan bersih, dan untuk itu tentunya kita harus membersihkan diri sendiri terlebih dahulu tentunya.
Ketiga, air mempunyai sifat halus dan lembut tapi tegas. Air bisa datang dalam jumlah yang sangat besar tapi juga bisa seketika hilang tanpa jejak. Saya lebih percaya kalau materi di muka bumi ini yang paling lembut sepertinya air, setiap kita sentuh ia sangat halus, saking halusnya kita tidak bisa mengukur seberapa tebal ukuran inti air. Tetapi, meskipun air terlihat dan terasa begitu tenang, lembut dan menyejukan, manakala ia “bertindak atas perintah Allah SWT” untuk memberikan peringatan kepada umat manusia maka efeknya sangat dahsyat mampu meluluhlantahkan dunia lebih dari sebuah bom atom. Pelajarannya buat kita adalah kita harus menjadi pribadi yang lemah lembut, santun, menentramkan tapi tidak loyo, tidak cemen. Tenang tapi punya ketegasan yang tidak bisa disepelekan dan direndahkan.
Keempat, hadirnya air selalu dibutuhkan dan dirindukan oleh siapapun. Mudah-mudahan dengan berkaca pada peran air, kita bisa berusaha menjadi manusia yang setiap kehadirannya selalu dibutuhkan dan sangat dirasakan manfaatnya oleh orang lain, sehingga kita tidak menjadi terbuang dan terkubur didalam sampah sejarah.
Kelima, berubah bentuk tapi tidak berubah sifat. Sobat perhatikan bak mandi yang berisi air secara penuh, misalnya bak tersebut berbentuk kubus, otomatis air yang didalamnya karena mempunyai sifat menekan ke segala air bentuknya juga menjadi kubus mengikuti bentuk bak mandi. Air tersebut kemudian sobat pindahkan kedalam drum yang mempunyai bentuk silinder, otomatis air tersebut bentuknya juga menjadi silinder karena menyesuaikan bentuk drum.
Ketika air berada didalam bak mandi dan bentuknya menyesuaikan bak mandi, ia tetaplah air, air dengan segala ciri khas, sifat dan karakternya. Begitu juga ketika air dipindahan kedalam sebuah drum, ia tetaplah air yang masih dengan segala ciri khas, sifat dan karakternya. Ia tidak berubah menjadi minyak ataupun yang lainnya. Gambarannya, dimanapun kita berada hendaklah kita tetap mempunyai kepribadian yang kuat, keimanan yang teguh, yang tidak mudah terpengaruh oleh perubahan kondisi dan lingkungan.
Keenam, air tidak bisa dibelah, selalu mengalah tapi tidak pernah kalah. Sobat perhatikan saat air dikolam atau dimanapun, dengan cara apapun ia dibelah tetap ia akan bersatu kembali. Dengan satu hentakan pukulan keras mungkin air tersebut tercerai-berai menciprat kesegala arah. Tapi ia akan tetap kembali bersatu lagi. Hikmahnya buat kita, apalagi kalau bukan semangat persatuan dan persaudaraan. Air sangat mudah berbaur dengan sesama air, sudah selayaknya kita juga bisa berbaur dan bersatu-padu antar sesama manusia terlebih lagi disatu bangsa yang sama.
Lantas, kenapa kita jangan hidup seperti air yang mengalir ?
Sebetulnya teori ini tidak salah sepenuhnya, tapi saya banyak tidak setujunya. Air punya sifat mengalir dari yang tinggi ke yang rendah menekan kesegala arah. Ketika air mengalir ada kemungkinan ujungnya, antara ke tempat yang baik atau buruk. Masih mending kalau mengalirnya ke muara laut, kalau ke saluran got, jalur pembuangan limbah dan berujung pada septik tank ?, atau bahkan bermuara di pusat pembuangan limbah yang mencemari lingkungan dan membahayakan untuk kehidupan ?. Air yang mengalir mempunyai sifat yang liar tak tentu arah, ia tidak bisa mengendalikan diri. Kalau air sudah tidak terkendali, maka keliarannya bisa menyebabkan banjir dan arusnya menghancurkan segala objek.
Masih mau hidup seperti air yang mengalir ?
Agar bisa lebih bermanfaat dan tidak sia-sia, air yang mengalir tersebut harus diatur arah alirannya. Harus dialirkan kemana ?, disalurkan kemana ?. Untuk persawahanpun tidak serta-merta air dari sungai mengalir sendiri ke sawa-sawah, alirannya tetap harus diatur, dialirkan, diarahkan, sehingga jelas manfaatnya.
Hidup seperti air mengalir tak ubahnya seperti sebuah kepasrahan diri “terserah zaman mau membawa saya kemana”. Air ang mengalir harus diarahkan dan diatur alirannya supaya tidak membahayakan, merugikan dan sia-sia. Demikian halnya hidup kita, harus terarah, tidak merugikan, dan yang pasti hidup kita tidak sia-sia. Jelas, filosofi “hidup seperti air mengalir” tidak cocok untuk pribadi yang  mau berubah kearah yang  lebih baik. Hidup ini harus diarahkan dan dikendalikan. Singkatnya, kalaupun mau hidup seperti air yang mengalir harus lebih ditegaskan lagi “hiduplah seperti air ledeng yang mengalir”.

Selamat Malam, Saya Banci ""perjalanan""

“Mbah ojo dadi banci lho, Mbah…mengko aku ndhak dadi lesbian”


Kalimat berbahasa Jawa --yang artinya: Nek, jangan jadi waria lho, Nek…nanti aku bisa (ketularan) jadi lesbian-- itu meluncur dari bocah perempuan berusia kira-kira 8 tahun. Sutopo, waria yang merupakan nenek angkat dari anak itu, menuturkannya kembali untuk acara televisi bertajuk “Kejamnya Dunia”. Agak mengagetkan bahwa acara yang cenderung mengeksploitasi penderitaan dan kesedihan manusia itu kali ini menampilkan kisah yang cukup mengharukan. Objeknya, waria, tentu saja memang masih sesuai dengan tajuk acaranya. Namun, kali ini porsinya terasa begitu pas, sehingga tak tampak adanya upaya yang berlebihan untuk menggali airmata ratapan “ketidaknormalan”.

Judulnya “Selamat Pagi, Saya Pak Topo” dengan sub judul dalam kurung “Kisah Seorang Waria Menjadi Guru”. Yang terakhir ini terdengar lugu dan naif, selugu adegan-adegan ilustrasi yang diperankan oleh model. Tapi, di luar itu, secara substantif, episode “Kejamnya Dunia” kali ini tidak hanya menarik namun juga berhasil mengundang simpati. Pada beberapa bagian bahkan tampil lucu dan menghibur. Misalnya, pada bagian yang saya jadikan pembuka tulisan ini, ketika Pak Topo mengenang kembali kata-kata salah seorang cucu angkatnya. Dari situ kita tak hanya dihadapkan pada sebuah panorama budaya tertentu yang demikian tulus menerima keberadaan waria. Lebih daripada itu, adegan yang menggambarkan keakraban antara seorang waria yang telah menjadi nenek dengan cucunya itu menjadi simbol dari lebih banyak lagi realitas tentang sebuah masyarakat Jawa yang egaliter.

Adegan lain yang menggambarkan hal yang sama adalah ketika Pak Topo, dengan setting ruang kantor di sekolah tempat ia mengajar, menuturkan bahwa semua rekan-rekannya sesama guru memanggilnya mami. “Sampai kepala sekolah pun memanggil saya mami. Yang tidak memanggil mami cuma guru agama.” Dalam tayangan-tayangan fiktif, sosok waria dilukiskan dengan begitu karikatural bahkan cenderung absurd. Seolah-olah, para kreator di balik acara-acara seperti sinetron itu tak pernah melihat secara langsung sosok seorang waria itu seperti apa. Seolah-olah waria itu makluk lain dari luar spesies manusia yang luar biasa aneh. Dalam “Kejamnya Dunia” episode Pak Topo, waria tampil begitu normal, begitu wajar. Ia seorang guru di sebuah SMK di Yogyakarta, bergaul sebagaimana mestinya dengan lingkungannya dan diterima apa adanya.

Tentu saja ia pernah mengalami masa-masa sulit, ketika hidup diwarnai dengan diskriminasi, penolakan dan perlakuan yang menghinakan dari orang-orang di sekitarnya. Ia pernah mengalami masa-masa tidak disukai orangtuanya karena perilakunya yang “menyimpang”: pagi seorang lelaki berseragam pegawai negeri, malamnya berdandan perempuan dan kelayapan mencari teman-teman sehati. Namun, jatuh bangunnya seorang individu manusia dalam berjuang merebut eksistensinya adalah proses yang biasa dilewati oleh siapa saja, tidak laki-laki, tidak perempuan. Dan, tak terkecuali seorang waria. Pada akhirnya, di samping identitas seksualnya yang oleh umum dianggap menyimpang, pertama kali ia adalah seorang manusia.

Maka, lumrah bila kemudian Pak Topo pun berpikir normatif layaknya manusia lain pada umumnya, yang takut pada hari tua. Tak ingin sendirian dan kesepian, ia mengangkat anak (laki-laki), dan sang anak itu kini telah beristri dan beranak pula. Maka, Pak Topo pun punya cucu dan menjadi seorang yang dipanggil nenek. “Cucu saya yang pertama melarang saya dandan lagi. Mbah ojo dadi banci, lho, Mbah…mengko aku ndhak dadi lesbian, katanya,” tutur dia mengenang.

Dari tayangan-tayangan fiktif –termasuk misalnya yang berklaim relijius, dengan berbagai tajuk, dari “Hidayah” sampai “Taubat” yang menampilkan tokoh kiai di dalamnya-- kita disesatkan sejauh menyangkut sosok-sosok seorang waria. “Kejamnya Dunia” edisi Pak Topo telah memberikan pencerahan yang menyegarkan, dan membuat masyarakat jadi tahu bahwa waria bukanlah siapa-siapa. Ia guru di sekolah kita, ia juga bisa jadi orang tua kita (seperti yang digambarkan dalam film “Realita, Cinta dan Rock N Roll” karya sutaradara Upi Avianto), ia bisa nenek kita, tetangga sebelah rumah kita, yang setiap hari lewat depan rumah kita, menyapa kita atau kita sapa, kita ajak bercanda. Dan, ia tak perlu berteriak, “Aku Bukan Banci Kaleng”.