Tuesday, June 14, 2011

Renungan Sang Pemulung




Mungkin tak pernah kubayangkan sebelumnya, bahwa aku kini akan menjadi seorang pemulung. Pemulung sampah yang selalu berkelana dari satu tempat sampah ke tempat sampah yang lain. Dari satu onggokan ke kumpulan yang lebih besar dan lebih jorok mungkin. Sering, hanya karena sampah yang bagi sebagian orang tak ada gunanya atau malah menimbulkan kekotoran bahkan hama penyakit, aku berkelahi bahkan hingga meneteskan darah. Aku berpendapat bahwa semua sampah adalah rezeki Tuhan yang mengarah kepadaku. Aku harus mengambilnya. Tidak boleh menyia-nyiakannya barang secuilpun. Tapi mereka tidak ada yang tahu dan tidak akan pernah mau tau. Apalagi pemerintah? Cuih… muak aku melihat janji-janji mereka akan menyejahterakan kehidupan kami.

Kehidupan rakyat yang lebih kecil dari rakyat kecil tetapi punya semangat besar yang lebih besar dari para pembesar. Mereka hanya beruntung saja bisa sekolah. Coba nasib mereka sama seperti kami, menjadi pemulung sampah, aku yakin para pembesar dan pejabat itu akan mati kelaparan. Mereka tak akan mampu untuk hidup.
●renungan sang pemulung●
sebelum aku melanjutkan perenunganku bersama anda, ada baiknya anda mengetahui siapa aku? Dari mana aku dating? Dan kemana aku akan kembali?
Kenalkan! Namaku Qotif. Aku tak tahu mengapa aku diberi nama begitu oleh orang tuaku dulu. Yang penting orang memanggilku dengan panggilan itu. Aku sih enjoy-enjoy saja. Ngapain ngurusin nama? Masih banyak yang harus kuurusi dan urusan itu lebih penting dari sekedar nama. Aku dilahirkan di desa Khayyal di dataran Ananiyah. Sebuah desa dataran yang kini dipenuhi oleh bangunan-bangunan tinggi dan menjulang, tempat aku biasa mengais rezeki dari limbah-limbah mereka. Dataran yang terkadang menjadi tempat tidurku bersama istriku dan anakku satu-satunya. Lho? Aku punya anak tho? Ya iya lah. Walaupun pemulung, aku masih mempunyai tanggung jawab. Cintaku pada anak dan istriku senantiasa kubawa dalam setiap pemulunganku terhadap sampah-sampah yang berserakan dan bertumpukan disetiap limbah-limbah pabrik dan rumah.
Kehidupanku dari dulu hingga sekarang tak berubah-ubah. Semenjak pemerintahan Presiden pertama hingga kini yang ketujuh, tak juga berubah-ubah. Maklum yang namanya pemerintah kan kerjanya Cuma memerintah bukan diperintah. Jangan pernah berharap rakyat kecil akan dapat memerintah pemerintah. Pemerintahlah yang berkuasa untuk memerintah. Namanya aja pemerintah. Umurku 101 tahun. Lebih tua sekitar 30-an tahun dari negeriku sendiri yang tak pernah belajar dewasa walaupun umurnya sesungguhnya telah tua. Istriku? Telah berumur 99 tahun. Umur yang kata orang merupakan angka keberuntungan akan tetapi tak ada keberuntungan juga yang kami rasakan selain beruntung Tuhan belum mau memanggil kami kembali kepangkuannya. Anakku sendiri berumur 70-an. Ga’ tahu jelas aku umurnya yang pasti, karena dulu melahirkan ga’ lihat-lihat umur. Lahir aja bersyukur. Apa lagi lahirnya Cuma dibawah kolong jembatan. Ya aku bersyukur anakku satu-satunya ini dapat menjadi generasi yang baik yang mampu meneruskan usahaku, yaitu memulung sampah. Aku tak tahu apa jadinya sampah jika tak ada pemulung? Aku tak tahu, apakah para pejabat pemerintah atau para penguasa akan mau mengambilnya jika sampah tersebut telah menumpuk karena kami tidak ada? Bah…. Memungut sampah ketika gotong royong didepan rumahnya aja tidak pernah ikut kurasa, bagaimana pula mau memungut sampah didaerah perkantoran. Dengan alas an gengsi mereka akan menyuruh cleaning service untuk membersihkannya. Uh…..pening aku memikirkan nasib mereka seandainya mereka seperti aku. Ah…mengapa pula aku memikirkan mereka? Belum tentu dan pasti mereka tidak memikirkan nasibku? Nasib…..nasib…..
● renungan sang pemulung ●
rumahku kini tak ada lagi. Seluruh rumah kami, para pemulung dan pengemis telah dibersihkan pemerintah. Tak tahu entah kemana akan tidur. Emperan-emperan toko telah dipagar. Artinya, kami akan tidur dengan beratapkan langit bertikaikan bumi. Sebuah rumah yang luas. Lebih luas dari rumah pengusaha dan menteri yang kini menjadi orang terkaya di indonesia.
Malam telah kelam. Hujan turun deras. Kami bertiga kini kedinginan. Begitu menusuk. Tak ada lagi daging yang melekat dalam diriku yang bisa menghangatkan badanku. Kulihat istriku, ia juga begitu. Anakku, juga begitu. Dengan tulus, kami bertiga saling berpelukan. Berusaha untuk saling menghangatkan. Seluruh kehangatan yang kami keluarkan, takluk dengan dinginnya air yang terus turun bagaikan air aqua yang meluap dari botolnya. Tak ada yang mampu untuk menampungya.
Hus…………………….
Sebuah ombak besar dating dari belakangku. Begitu besar-begitu kuat. Hingga aku tak kuat menentangnya. Aku terbawa arus. Begitu juga istriku dan anakku. Aku merasakan kegelapan yang sangat.
● renungan sang pemulung ●
esok paginya kulihat fotoku masuk Koran. Beserta istri dan anakku. Begitu indah begitu rukun. Judul yang tertera diatas foto kami adalah  PULUHAN KORBAN BANJIR MASIH TERLANTAR DALAM KERAMAIAN

No comments:

Post a Comment